10 pemimpin Terkorup di dunia :
1. Joseph Estrada
Pria kelahiran 1937 ini, merupakan Presiden ke 13 Filipina periode 1998 sampai 2001.
Sebelum berkiprah dalam dunia politik, Joseph merupakan seorang aktor film yang sudah seringkali main dan mendapatkan penghargaan.
Saat menjadi presiden, ia ketahuan menjarah uang negara sebesar 78 sampai 80 juta dolar atau sekitar Rp 1 triliun lebih. Hingga akhirnya ia dihukum beberapa tahun.
Namun pada 2007, ia mendapatkan pengampunan tanpa syarat dari Presiden Gloria Macapagal Arroyo.
2. Arnoldo Aleman
Sebelum menjadi Presiden Nicaragua, dulunya Arnoldo merupakan seorang pengacara.
Namun sebagai seorang yang mengerti hukum, ia malah melakukan perubahan yang tak patut dicontoh.
Ia justru melakukan tindak korupsi yang merugikan Nicaragua.
Ia menjadi Presiden Nicaragua pada tahun 1997 sampai tahun 2002.
Saat ia menjadi seorang presiden, Arnoldo melakukan korupsi senilai 100 juta dolar atau sekitar Rp 1,33 triliun.
Karena ulahnya tersebut, seperti penggelapan uang, pencucian uang, ia pun akhirnya dihukum selama 20 penjara.
3. Pavlo Lazarenko
Pavlo Lazarenko memang bukanlah Presiden Ukraina. Ia hanya seorang perdana menteri.
Meskipun begitu, ia pun ikut terlibat dalam kasus korupsi di negara Ukraina.
Bahkan ia melakukan tindak korupsi hanya dalam waktu singkat ia menjabat.
Selama setahun ia menjabat, mulai tahun 1996 sampai 1997, ia telah mengkorupsi uang negara sebesar 114 sampai 200 juta dolar atau sekitar Rp 2,33 triliun.
Dan bisa dibayangkan, jika ia menjabat lebih lama lagi, atau menjadi seorang presiden, berapa besar uang yang akan ia korupsi.
4. Alberto Fujiomoro
Pria kelahiran 1938 ini merupakan presiden ke 90 dari negara Peru.
Ia menjabat mulai dari tahun 1990 sampai dengan 2000.
Meskipun ia menciptakan sistem ekonomi yang stabil di Peru, namun ia melakukan pemerintahan dengan otoriter dan menyalahgunakannya untuk korupsi.
Ia merupakan warga Peru yang memiliki keturunan Jepang.
Saat ia terlibat skandal korupsi, ia sempat melarikan diri ke Jepang.
Saat itu ia sempat membuat pengunduran diri sebagai Presiden, namun pemerintah Peru, tetap ingin memberikan hukuman kepada Fujimoro.
Meskipun ia juga sempat kabur ke Chili, namun ia tetap berhasil ditangkap dan akhirnya di extradisi ke Peru untuk dihukum.
Selama 10 tahun menjabat, ia telah memakan uang rakyat sebesar 600 juta dolar atau sekitar Rp 8,3 triliun.
5. Jean Claude Duvalier
Pria ini merupakan presiden korup yang berhasil mencuri uang negaranya sendiri, Haiti.
Ia merupakan presiden ke -30 yang mulai menjabat pada tahun 1971 sampai 1986.
Selama menjadi presiden, ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk uang negara dengan jumlah angka yang cukup fantastis yakni sekitar 300 smaoai 800 juta dolar atau sekitar Rp 11 triliun.
Jean sendiri juga cukup akrab dengan pemerintah Amerika setelah mendirikan lembaga anti komunis.
Ia sendiri memiliki gaya hidup yang cukup mewah.
Bahkan pernikahannya, ia mendapatkan sponsor dari negara sebesar 3 juta dollar.
6. Slobodan Milosevic
Sepak terjang dari presiden Serbia Yugoslavia ini, memang benar-benar gila.
Selama 11 tahun menjabat, mulai dari tahun 1989 sampai tahun 2000, ia melakukan tindak korupsi yang cukup gila, yakni mengorupsi uang negara sebesar 1 miliar dollar atau sekitar Rp 14,4 triliun.
Uang sebanyak itu, digunakannya untuk kesenangan pribadi dan memperkaya dirinya sendiri.
Namun aksinya tersebut harus berakhir setelah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara.
7. Sani Abcha
Saat dipimpin oleh Sani Abcha, Nigeria mengalami berbagai macam permasalahan, termasuk perang sipil.
Mantan presiden Nigeria ini merupakan salah satu presiden terkorup.
Ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya di tengah kelaparan yang melanda negaranya.
Menjabat selama lima tahun, mulai tahun 1993 sampai 1998 ia telah melakukan korupsi sebesar 2 sampai 5 milyar dolar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66, 5 triliun.
8. Mobutu Sese Seko
Mobutu merupakan salah satu pasien terkorup di dunia. Pemimpin yang memimpin Zaire atau saat ini lebih dikenal Kongo ini, telah puluhan tahun berkuasa.
Bahkan masa jabatannya, lebih lama dari Soeharto yang hanya 32 tahun.
Ia berkuasa mulai tahun 1969 sampai 1997. Selama menjabat sebagai presiden, ia telah mengorupsi uang negara sebasar 5 miliar dollar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66,5 triliun.
9. Ferdinand Marcos
Presiden Filipina yang menjabat pada tahun 1972 sampai tahun 1986 ini jadi presiden yang paling terkorup kedua setelah Soeharto.
Dalam masa pemerintahannya selama 14 tahun itu, ia memimpin dengan sifat diktator.
Dan uang negara yang ia korupsi untuk kepentingan pribadinya sebesar 5 sampai 10 miliar dollar.
Jika dirupiahkan uang tersebut benar-benar nilai yang begitu fantastis yakni bernilai Rp 114 triliun.
10. Muhammad Soeharto
Tentunya kalian semua sudah tau, siapa dia. Ya mantan pemimpin yang pernah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun di Indonesia.
Bahkan dia juga masuk dalam daftar presiden terkorup di dunia. Dan tentunya hal ini bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
Selama menjabat, ia seringkali menempatkan keluarganya dalam jajaran jabatan penting.
Bahan ia juga memberikan perusahaan-perusahaan besar kepada anaknya.
Diperkirakan ia melakukan tindakan untuk menguntungkan pribadinya sebesar 15 sampai 35 dolar atau sekitar Rp 465 triliun. Wah benar-benar nilai yang sangat fantastis.
Sumber :
Kasus Bank bali
Sekitar 20 tahun yang lalu Bank Bali ramai diperbincangkan. Bank ini tersandung kasus cessie (hak tagih piutang) yang membuat pemiliknya dan berbagai tokoh terjerat.
Rudy Ramli si pemilik Bank Bali bahkan harus ikut mendekam dipenjara. Tapi bukan itu yang membuatnya sakit hati. Ada dugaan konspirasi yang membuat dirinya harus kehilangan perusahaan keluarga satu-satunya itu.
Rudy Ramli si pemilik Bank Bali bahkan harus ikut mendekam dipenjara. Tapi bukan itu yang membuatnya sakit hati. Ada dugaan konspirasi yang membuat dirinya harus kehilangan perusahaan keluarga satu-satunya itu.
Untuk skandal cessie bermula ketika Bank Bali mengucurkan pinjaman bantuan dana antar bank ke Bank Umum Nasional, Bank Tiara, BDNI dan bank lainnya yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun.
Pada 1997 beberapa piutang itu sudah jatuh tempo. Namun Bank Bali saat itu kesulitan untuk menagih piutangnya. Sebab bank-bank yang memiliki utang ke Bank Bali dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih. Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI. Akibat tidak dibayarnya pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun. Bank Bali pun harus melakukan rekapitalisasi. Dari beberapa calon investor baru Bank Bali memilih GE Capital dan kemudian meneken MoU kerja sama pada 12 Maret 1999. Namun Bank Indonesia dan BPPN menolak itu dan memaksa Bank Bali memilih Standard Chartered Bank (SCB).
"Kemudian pada tanggal 12 April 1999 sudah habis kontrak. Si EGP ini hanya menunggang. Jadi dalam Bank Bali ada konspirasinya EGP, dia hanya menunggang. Dia melihat saya ada tagihan yang enggak keluar-keluar dia nunggang untuk dapat duit buat Habibie. Itu semua orang sudah tahu," terangnya.
Nah yang ingin diungkap Rudy adalah dugaan konspirasi yang dilakukan SCB. Pada 22 April 1999 Rudy dan manajemen Bank Bali akhirnya menerima paksaan untuk menerima SCB yang akan masuk membantu perusahaan.
Pada tanggal itu Rudy menandatangani kesepakatan dengan SCB. Menariknya dokumen yang diteken Rudy hanya selembar kertas kosong.
"Kalau dipikir-pikir sekarang, kok waktu saya teken kertas putih itu saya diam saja. Kalau otak saya jalan, waktu itu saya bisa saja ambil mic kan banyak wartawan saat itu. Ya tinggal saya bilang kami tanda tangan kertas kosong. Saya enggak tahu kenapa saya diam saja. Saya sadar itu kertas kosong," kenangnya.
Setelah beberapa bulan, belum ada tindakan dari SCB untuk menyelamatkan Bank Bali. Nah inti dari kejadian ini terjadu pada 22 Juli 1999 untuk proses uji tuntas (due diligence).
Saat itu bos besar SCB datang ke Jakarta. Dia mengundang para eksekutif Bank Bali makan malam di Ballroom di Hotel Shangri-la. Rudy berhalangan hadir lantaran harus menghadiri pelantikan sahabatnya sebagai Kepala Staf Angkatan Laut di Surabaya.
Namun tepat pada saat makan malam itu, manajemen Bank Bali mendapatkan informasi dari Bank Indonesia (BI) bahwa perusahaannya sudah berstatus Bank Take Over (BTO). Itu artinya Bank Bali resmi jadi pasien BPPN.
"Jadi saya enggak penuhi undangan itu. Tapi ada direktur dan komisaris saya yang hadir. Eh malam itu dapat surat dari BI selamat ya bank anda di-BTO-kan, diserahkan ke BPPN. Jadi mereka sengaja melakukan pesta. Dan itu BTO berdasarkan rekomendasi Standard Chartered Bank. Intinya sudah lah Bank Balinya di-BTO-kan saja, supaya mereka hanya negosiasi sama BPPN saja. Enggak usah ada Keluarga Ramli lagi," terangnya.
Sejak saat itu, Rudy sudah dilarang untuk ke kantor Bank Bali. Dia didepak dari perusahaannya sendiri. Kemudian Bank Bali dimerger dengan beberapa bank lainnya yang kemudian menjadi Bank Permata.
Kronologis kasus Cassie bank Bali :
26 Januari 1998
Terbit Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban pembayaran bank umum. Keputusan ini untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.
8 Maret 1998
Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor 30 /270/KEP/DIR berisi petunjuk pelaksanaan penjaminan.
18 Maret 1998
Bank Bali mengirim surat ke BDNI untuk minta konfirmasi soal utang-utangnya yang jatuh tempo pada 2 Maret 1998 sampai 16 Maret 1998 (6 transaksi).
9 Juli 1998
Tim manajemen BDNI melalui suratnya menyatakan, klaim atas kewajiban BDNI ke Bank Bali sudah diajukan ke BPPN.
21 Oktober 1998
Bank Bali kirim surat ke BPPN perihal tidak terbayarnya tagihan piutang di BDNI dan BUN yang timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory notes. Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45 juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200 miliar.
27 Oktober 1998
BI menyampaikan secara tertulis ke tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin (transaksi forward-sell) senilai Rp 1,131 miliar.
23 Desember 1998
Bank Bali kembali mengirim surat ke BPPN perihal tagihan piutang ke BDNI dan BUN tidak kunjung berhasil. Bank Bali juga meminta BPPN membantu memecahkan masalah ini.
11 Januari 1999
Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah diserahkan ke Bank Bali. Kemudian, Bank Bali juga menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT Era Giat Prima Setya Novanto. Bank Bali menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira ke PT EGP. Total tagihan itu mencapai Rp 3 triliun.
12 Januari 1999
Wakil Ketua BPPN Pande Lubis mengirim surat ke Bank Bali. Isinya, BPPN sedang mengumpulkan dan mempelajari data mengenai transaksi Bank Bali untuk mencari pemecahan masalah.
15 Februari 1999
BPPN meminta bantuan BI untuk melakukan verifikasi atas tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN dari segi kewajaran dan kebenarannya.
16 Februari 1999
BI tolak usulan Pande Lubis untuk meneliti kembali klaim Bank Bali karena sebelumnya BI sudah menyatakan secara administrasi tidak berhak.
18 Februari 1999
Pande Lubis mengeluarkan memo kepada Erman Munzir yang berisi usulan untuk memeriksa ulang klaim Bank Bali. Erman kemudian mengaku telah minta Direktur UPMB I memprioritaskan klaim Bank Bali.
22 Maret 1999
BI melakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN. Hasilnya, antara lain, tidak ditemukan indikasi ketidakbenaran dan ketidakwajaran transaksi SWAP, forward dan L/C antara Bank Bali dengan BDNI, transaksi pembelian promes yang di-endorse BUN belum sesuai dengan prinsip praktik perbankan yang berhati-hati.
29 Maret 1999
PT EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali untuk dan atas nama PT EGP menagih ke BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp 342,919 miliar dan mengkreditkannya ke rekening perusahaan itu. Hal serupa dilakukan terhadap penagihan piutang beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp 1, 277 triliun dan mengkreditkannya ke rekening PT EGP.
1 April 1999
Bank Bali mengirim surat ke BPPN. Isinya ralat tentang jumlah tagihan ke BDNI dan BUN.
9 April 1999
BPPN menolak klaim tagihan Bank Bali terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski begitu, harus ada persetujuan dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.
14 Mei 1999
Revisi Surat Keputusan Bersama Program Penjaminan Pemerintah:
- Keterlambatan administratif bisa diterima selama tagihan valid,
- Pengajuan klaim dapat dilakukan oleh salah satu pihak, baik debitor atau kreditor,
- Ketidakberlakuan penjaminan diperluas sehingga mencakup kewajiban yang berasal dari pihak terkait
- Dana publik yang berasal dari perusahaan Asuransi dan Dana pensiun dikeluarkan dari kelompok pihak terkait,BPPN menolak klaim tagihan Bank Bali terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski begitu, harus ada persetujuan dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.
1 Juni 1999
BPPN meminta BI melakukan pembayaran dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904 miliar dari BI mengucur ke rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).
3 Juni 1999
BPPN instruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan)
9 Juni 1999
Setelah uang keluar dari BI, janji PT EGP menyerahkan surat-surat berharga pemerintah yang harusnya jatuh tempo pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian penyelesaian. Isinya, Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar ke PT EGP. Alasannya, tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga dikurangkan saja dengan uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.
20 Juli 1999
Standard Chartered Bank melaporkan hasil due diligence dan menemukan:
a. Terjadi tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar sehubungan dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar
b. Adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima kerugian tambahan tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi
23 Juli 1999
Penyerahan Bank Bali dari Bank Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep Dpg/1999 menyusul terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali
30 Juli 1999
Ahli hukum perbankan Pradjoto membeberkan jaringan money politics, dalam transaksi penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun, yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan dugaan adanya dukungan sejumlah pejabat tinggi negara.
5 Agustus 1999
BPPN membentuk tim investigasi di bawah pengawasan International Review Committee untuk menginvestigasi kebenaran transaksi cessie, meneliti dasar hukumnya, menelaah proses pengambilan keputusan atas transaksi, melakukan pemeriksaan, penelitian, pengumpulan data, dan penyelidikan terhadap pengalihan dana yang dilakukan Bank Bali ke PT EGP.
27 September 1999
Pejabat sementara Jaksa Agung Ismudjoko SH mengungkapkan, tim penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin ketua tim Pengkaji Pidana Khusus Ridwan Mukiat siap menyidik skandal Bank Bali dengan mencoba memanggil orang-orang yang diduga terkait dalam kasus Bank Bali.
7 Oktober 1999
Presiden BJ Habibie telah menyetujui pemeriksaan tiga pejabat tinggi di kabinet waktu itu, salah satunya Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, sebagai saksi dalam kasus skandal Bank Bali.
29 November 1999
Kejaksaan Agung menyatakan telah menerima surat izin pemeriksaan Syahril Sabirin. Pemeriksaan Syahril menjadi menarik setelah Wakil Dirut Bank Bali Firman Soetjahja saat diperiksa tim penyidik mengakui adanya pertemuan di Hotel Mulia pada 11 Februari 1999 yang membahas soal cessie..
5 Juni 2000
Gubernur BI Syahril Sabirin resmi jadi tersangka kasus Bank Bali. Dia dipersalahkan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan.
21 Juni 2000
Syahril Sabirin ditahan di Kejaksaan Agung.
28 Agustus 2000
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Soedarto membebaskan Joko dari tuntutan hukum. Majelis berpendapat, kasus Djoko bukan termasuk pidana, melainkan perdata. Sebelumnya, jaksa Antasari Azhar menuntutnya 18 bulan penjara.
28 Juni 2001
Mahkamah Agung kembali memenangkan Djoko S. Tjandra. Majelis Hakim Agung memperkuat argumentasi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, satu anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan menyatakan Joko bersalah melakukan korupsi.
13 Maret 2002
Syahril Sabirin divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dihukum tiga tahun penjara.
Maret 2002
Mahkamah Agung menolak gugatan EGP di PTUN yang meminta agar surat keputusan mengenai pembatalan pengalihan tagihan Bank Bali ke EGP oleh BPPN dicabut.
Agustus 2002
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk minta petunjuk.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
19 Juni 2003
BPPN minta fatwa MA dan penundaan eksekusi putusan MA yang membebaskan Joko S. Tjandra. Alasannya, ada dua putusan MA yang bertentangan.
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya, MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi.
1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan
terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2 tahun penjara.
16 Juni 2009
Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron. Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.
12 Mei 2016
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi yang Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra. Intinya, Jaksa tidak berhak mengajukan PK karena PK sesuai Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan hak terpidana atau ahli waris. Bali
Sumber :